Penulis : Dr. Irsyal Rusad. Sp.PD
KOMPAS.com - Siapa yang
tidak tahu bahwa olahraga itu banyak manfaatnya? Pasien saya yang sedang sakit pun, dan barangkali tidak
pernah berolahraga sebelumnya, akan menganggukkan kepalanya tanda setuju bahwa
olahraga berguna untuknya.
Ia tahu bahwa olahraga dapat
mengurangi perutnya yang buncit itu, yang menjadi biang kerok penyakit yang
dideritanya. Nah, kalau kepada pasien dianjurkan untuk berolahraga, apa dia
mau? Pengalaman saya, hanya sebagian kecil mereka yang akhirnya mau
melakukannya.
Seperti pasien di atas,
kebanyakan kita juga begitu. Bukan main susahnya memulai olahraga apalagi
mempertahankannya. Saya tak tahu berapa persen penduduk dewasa Indonesia yang
aktif berolahraga, tetapi saya rasa sangat kecil sekali. Kegiatan-kegiatan
olahraga yang dilaksanakan dalam event tertentu, seperti maraton, sepeda, jalan
santai dan sebagainya hanya ramai waktu acara itu dilaksanakan. Setelah itu,
sepeda, sepatu, dan aseoris olahraga lainnya lebih banyak digantung.
Di negara maju saja, seperti
Amerika, 60 persen penduduk dewasanya tidak melakukan olahraga secara teratur,
55 juta bahkan tidak berolahraga sama sama sekali. Sementara selama 4 jam
rata-rata mereka duduk di depan televisi.
Nah, kita tahu bahwa
olahraga sangat baik untuk kesehatan. Kita tahu olahraga membuat jantung lebih
bugar, otot dan tulang makin kuat dan tekanan darah turun. Olahraga juga
mencegah diabetes, cacat di hari tua, tidur lebih nyenyak, dan dapat
memperbaiki, memelihara otak dan mood.
Dan kita tahu lebih banyak lagi manfaat yang
dapat dipetik dari kegiatan olahraga. Tetapi, mengapa kita tetap memilih
untuk tidak melakukannya?
Banyak alasan yang diberikan
untuk menjawab pertanyaan tersebut. Mulai dari malas, capek, bosan, tidak punya
peralatan, tidak ada waktu, dan sebagainya. Tetapi. yang paling penting,
menurut Jeffrey R dan Betty L dalam buku Age Smart, mengapa kita tidak mengerjakannya
adalah bahwa kita menganggap olahraga itu hanya sebagai pilihan, yang boleh
saja kita lakukan atau tidak.
Kita beranggapan bahwa
olahraga adalah sesuatu di luar kegiatan rutin. Olahraga ditempatkan di luar
jurnal keseharian. Akibatnya, mau olahraga atau tidak, kita secara tak sadar
beranggapan bahwa itu tidak masalah, tidak ada akibat buruknya.
Karena anggapan itu sudah
terbenam dalam otak, maka otak pun merasa sudah menjadi nyaman untuk tetap
larut dalam kebiasaan seperti itu. Dan,
sayang, sebagian besar kita baru sadar untuk melakukan aktivitas
olahraga bila sudah sangat terlambat. Biasanya ketika penyakit atau cacat sudah
mendera kita, ketika olahraga itu sendiri sudah menjadi beban bagi tubuh kita.
Oleh karena itu, anggapan
bahwa olahraga itu sebagai pilihan harus dibuang. Sebaliknya jadikanlah
olahraga itu sebagai bagian tak terpisahkan dari jurnal kegiatan
sehari-hari. Cattie Blacks, pebisnis
dunia dan presiden Hearst Magazine, adalah sosok yang memperoleh manfaat besar
dari olahraga. Pada saat ia berusia 60 tahun, kebanyakan orang mengira masih
pantas untuk 40 tahun. Saat ditanya, mengapa bisa demikian? Ia menjawab “karena
kebiasaan olahraga dilakukan secara teratur setiap hari”.
Mengapa ia masih punya waktu
untuk berolahraga di tengah-tengah kesibukannya? Cattie rupanya mengubah
pikirannya tentang olahraga. Ia menghargai olahraga seperti janji-janji dan
pertemuan yang harus dipenuhi. Sama seperti pertemuan yang ia jadwalkan,
olahraga juga tercantum dalam buku hariannya.
Bahkan, kalau waktu itu adalah jadwal olahraganya, kemudian ada undangan
pertemuan, Ia akan memprioritaskan olahraga dibandingkan pertemuan itu.
Dalam beberapa tahun
terakhir, saya pun melakukan hal yang sama. Olahraga secara teratur setiap hari
paling tidak 30-40 menit. Di ruangan terbatas saya bisa jogging, berlari,
olahraga peregangan dan sebagainya. Boleh dikatakan, tiada hari tanpa
olahraga. Ini baru bisa saya jalani pada
saat saya beranggapan bahwa olahraga itu bukan suatu pilihan, tetapi suatu
keharusan dalam keseharian.
Saya buat jadwal khusus
untuk olahraga. Biasanya saya berolahraga beberapa jam menjelang praktek sore
dan setelah tidur siang beberapa menit
sebelumnya. Alhamdulillah, disamping saya tahu manfaat olahraga secara teoritis,
saya juga dapat merasakan dan menikmatinya.
Seperti diketahui, lamanya
olahraga yang dianjurkan sesuai peneltian adalah minimal antara 30-40 menit,
lima kali dalam seminggu. Jadi, ada hari tanpa kita harus olahraga. Dari waktu
30 menit olahraga, sebenarnya bisa juga dibagi menjadi interval 10-15 menit,
dua-tiga kali dilakukan dalam sehari, cukup hanya tiga kali dalam seminggu.
Olahraga dengan frekuensi
seperti ini memang masih memberikan manfaat yang sama. Tetapi ada sisi
negatif saya lihat, memilah-milah
lamanya olahraga seperti ini membuat kita sangat sulit mempertahankan
kontinuitasnya. Jadi, kalau kita misalnya sudah berolahraga 10-15 menit, kita
berhenti, kemudian mau melanjutkannya lagi di hari yang sama, itu tidak mudah.
Begitu juga bila dalam satu minggu ada hari tanpa olahraga. Contohnya 2-3 hari
tidak olahraga, biasanya hari tanpa olahrga itu akan berlanjut terus. Karena
itu, tetaplah berolahraga 30-40 menit dan tujuh hari dalam seminggu.
Olahraga itu memang susah,
tidak hanya memulainya, apalagi mempertahankannya. Namun, dengan mengubah
persepsi dan pikiran kita bahwa olahraga itu bukanlah pilihan yang dapat kita
kerjakan atau tidak - tidak bisa sekarang, besok atau lain waktu juga
boleh - tetapi sebaliknya kita hargai
sebagai kegiatan penting dalam kehidupan, seperti halnya sarapan pagi, maka
Insya Allah olahraga itu akan menjadi kebutuhan. Jadikanlah olahraga sebagai
bagian tidak terpisahkan dalam kegiatan seharian, agendakan olahrga itu dalam
buku jurnal harian Anda.
No comments:
Post a Comment